Ketika masih kecil, hidup di desa yang tidak steril, dan mendengar suara mobil dan pesawat hanya beberapa hari sekali, rasanya enak dan mewah sekali bila saya bisa hidup kelak di kota lengkap dengan kehebatannya. Sehingga, ketika kesempatan untuk berwisata datang, hampir setiap anak SD di desa di pinggiran bukit ini menyambutnya penuh gembira. Kendatipun murid dan guru sama-sama naik truk – yang sekarang hanya layak untuk barang dan binatang – tetap tidak mengurangi kegembiraan dan keheranan kami akan kehidupan kota saat itu.
Ada beberapa hal yang membuat kami orang desa terheran-heran ketika itu. Ada pohon yang batangnya lurus-lurus, dan ditanam di garis yang amat lurus. Belakangan, kami tahu ia bernama tiang listrik. Ada tanah luas yang terbentang datar, lebar dan tanpa pohon kelihatannya dari jauh. Hari itu baru kita tahu namanya laut. Ada gedung-gedung bertingkat yang membuat kami bingung dan teramat bingung : dari manakah orang-orang naik ke kamar yang tinggi di atas sana ? Begitu boleh memasuki bandar udara untuk bisa memegang pesawat – karena di desa hanya bisa dilihat lebih kecil dari kupu-kupu – maka saya dan teman-teman berebut menjilati ban burung besi ini.
Anda boleh tertawa tentang betapa kampungnya saya di masa kecil. Atau malah merasa dibohongi karena membaca catatan seseorang yang sebenarnya “hanya” lahir dan besar di kampung. Akan tetapi, dengan segala kekampungan ini, kami semua baru mengenal teramat sedikit candu kehidupan seperti kemewahan, kesuksesan, dan keberhasilan.
Saya fikir tadinya, keberhasilan begitu diraih akan membuat kita bahagia selamanya. Puluhan tahun setelah keluguan dan kebodohan kampung ini berlalu. Dan duduk di tangga hidup orang kota yang relatif tinggi, bergaul serta tinggal juga di tempat yang relatif tinggi, saya teramat rindu dengan “kemewahan” orang kampung yang dulu saya miliki. Seperti orang yang duduk di tempat rendah, tidak ada ketakutan untuk jatuh. Tidak ada juga keserakahan untuk cepat-cepat naik ke atas. Yang ada hanya kenikmatan untuk menjalani hari ini. Tidak lebih dan tidak kurang.
Akan tetapi, begitu duduk di tempat yang relatif tinggi di kota, hidup ini seperti orang yang menghisap candu dan obat terlarang lainnya. Bila candu hanya menghadirkan ketergantungan dengan hal-hal yang sifatnya dari luar seperti obat, kesuksesan malah lebih dahsyat lagi. Ia menghadirkan ketergantungan dari luar sekaligus dari dalam. Dari luar, kita tergantung pada banyak hal-hal material seperti mobil, jabatan dan rumah. Demikian juga dengan sebutan orang lain. Sekali kita disebut sukses, kaya dan sebutan sejenis, ada semacam ketidakrelaan sistimatis dari orang lain (terutama orang dekat) terhadap hilangnya sebutan-sebutan ini. Ketergantungan dari dalam malah lebih dahsyat lagi. Kesuksesan menghadirkan ketakutan kehilangan yang amat besar. Tidak sedikit orang yang telah dibuat depresi, sakit atau malah gila sekalian oleh ketakutan kehilangan ini. Banyaknya orang meninggal begitu memasuki masa pensiun, hanya sebagian kecil dari bukti-bukti yang mendukung kecanduan ala sukses ini.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, mirip dengan candu yang menghadirkan ketergantungan, dan kemudian membuka pintu kesengsaraan, sukses juga sama. Dan kembali ke riwayat masa kecil saya yang kampungan, dulu saya belum dan tidak mengenal candu sukses ini. Sekarang, ia ada di depan mata. Jujur saja, sayapun dihinggapi ketakutan untuk kehilangan. Isteri, anak-anak, keluargapun dihinggapi ketidakrelaan sistimatis kalau sukses hilang.
Untung saja, saya dan keluarga membekali diri dengan banyak mesin belajar. Dan salah satu yang sempat saya pelajari dari seorang sahabat adalah tentang kebahagiaan yang lebih langgeng. Menurut rekan yang keturunan India ini, kebahagiaan yang langgeng adalah yang tidak bersebab. Begitu ia bersebabkan pada sesuatu – baik dari materi maupun non materi – maka iapun akan tunduk pada siklus hilang dan datang.
Mirip dengan cerita tentang sekumpulan anak kecil yang bermain di pantai. Suatu kali, ada seorang wanita cantik lewat. Dan anak-anak tadi bertanya tentang pekerjaan wanita tadi. Dengan jujur wanita tadi menyebutkan profesi pelacur. Karena semuanya tidak tahu apa arti pelacur, maka salah satu anak tadi lari ke segerombolan orang dewasa untuk bertanya. Salah seorang orang dewasa menjawab sopan : “pelacur adalah sebuah profesi di mana dia akan melakukan apa saja asal dikasi uang”.
Mendengar penjelasan seperti ini, maka rame-ramelah anak-anak tadi mengumpulkan uang, dan tentu saja memanggil pelacur tadi. Pertama disuruh menari. Kedua menari sambil melepas pakaian luar. Ketiga menari sambil telanjang. Dan baru saja kegiatan ketiga berlangsung beberapa detik, datang seorang orang dewasa melarang sambil bersuara keras : “hentikan permainan gila ini !”.
Nah, sampai dengan sebelum orang dewasa terakhir datang dan membentak, anak-anak tadi masih bersih fikirannya. Kehadiran orang dewasa terakhir membuat semuanya jadi kotor dan cabul.
Kesuksesan juga demikian. Sebelum kita sampai di sana, tidak ada candu. Kalaupun ada, ia tidak terlalu mengkhawatirkan. Namun, begitu sampai di sana, maka tergantunglah kita dibuatnya. Sekaligus, dibukalah pintu kesengsaraan lebar-lebar.
(Sukses Seperti Candu Gede Prama)