Ibu, cukupkah waktu
Jika besok aku ingin mencium bau cinta itu di tanganmu
Meraba letihnya perjalanan di kasar telapak kakimu
Karena hati ini terlalu lemas untuk tegas
Untuk tau yang sebenarnya
Bahwa aku adalah alasan itu
Alasan sabar, telah menangguhkan tiap-tiap yang paling kau inginkan
Alasan tegar untuk tetap bertahan dalam setiap himpitan kesempitan
Alasan berani menggadaikan rasa malu demi hari-harimu yang terpoles senyumku
Kemudian…
Biarkan aku malu
Karena cintaku adalah debu di angkasa hatimu
Karena alasan untuk banyak langkahku yang bukan karena cintamu
Karena aku selalu lupa tulusmu dan kau selalu ingat bahagiaku
Ibu, cukupkah waktu
Jika aku ingin membalas dongeng-dongeng yang selalu mengantar lelapku waktu itu
Tembang-tembang yang setia meredakan gelisah tangisku kala itu
Dengan menemani tanganmu melempar, seperti tangan Siti Hajar melempar setan
Dengan menggendongmu menundukkan jabal rahmah
Dengan memijit kakimu di putihnya pasir senggigi
Dengan mengintip senja eiffel yang terkenal itu
Ah…ibu
Meski apapun itu tak cukup puas hatimu
Kecuali kupenuhi lirih katamu di setiap gulita itu
“jadikan dia anak soleh”
Maafkan ibu, untuk bakti yang tak sempurna
untuk tiap-tiap lupa atas langkah yang selalu kau jaga dengan do’a
Untuk jingga senja yang hilang namamu dalam pinta
untuk waktu yang sia-sia
Jika besok aku ingin mencium bau cinta itu di tanganmu
Meraba letihnya perjalanan di kasar telapak kakimu
Karena hati ini terlalu lemas untuk tegas
Untuk tau yang sebenarnya
Bahwa aku adalah alasan itu
Alasan sabar, telah menangguhkan tiap-tiap yang paling kau inginkan
Alasan tegar untuk tetap bertahan dalam setiap himpitan kesempitan
Alasan berani menggadaikan rasa malu demi hari-harimu yang terpoles senyumku
Kemudian…
Biarkan aku malu
Karena cintaku adalah debu di angkasa hatimu
Karena alasan untuk banyak langkahku yang bukan karena cintamu
Karena aku selalu lupa tulusmu dan kau selalu ingat bahagiaku
Ibu, cukupkah waktu
Jika aku ingin membalas dongeng-dongeng yang selalu mengantar lelapku waktu itu
Tembang-tembang yang setia meredakan gelisah tangisku kala itu
Dengan menemani tanganmu melempar, seperti tangan Siti Hajar melempar setan
Dengan menggendongmu menundukkan jabal rahmah
Dengan memijit kakimu di putihnya pasir senggigi
Dengan mengintip senja eiffel yang terkenal itu
Ah…ibu
Meski apapun itu tak cukup puas hatimu
Kecuali kupenuhi lirih katamu di setiap gulita itu
“jadikan dia anak soleh”
Maafkan ibu, untuk bakti yang tak sempurna
untuk tiap-tiap lupa atas langkah yang selalu kau jaga dengan do’a
Untuk jingga senja yang hilang namamu dalam pinta
untuk waktu yang sia-sia
Renungan :
“Suatu ketika ada salah seorang Sahabat Nabi yang ingin membalas kebaikan ibundanya. Kemudian dia menggendong ibunya pergi jauh, jaraknya sampai 9,6 km. Ketika ibundanya bergerak sedikit saja, lukalah kulitnya. Tapi dia katakan, “Aku Ikhlas untuk ibundaku”. Dia berjalan di bawah terik sinar mentari padang pasir hingga tiba di Ka’bah. Bahkan ketika thawaf pun, terus digendongnya ibunya penuh dengan kasih sayang. Meskipun luka, dia ikhlas karena inilah yang bisa dilakukan untuk ibundanya.
Kemudian dia bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, aku telah menggendong ibuku dari rumah sejauh 9,6 km dan aku ajak berthawaf dan berhaji. Apakah aku sudah bisa membalas jasa ibundaku? Rasulullah menjawab, “belum cukup”.
“Suatu ketika ada salah seorang Sahabat Nabi yang ingin membalas kebaikan ibundanya. Kemudian dia menggendong ibunya pergi jauh, jaraknya sampai 9,6 km. Ketika ibundanya bergerak sedikit saja, lukalah kulitnya. Tapi dia katakan, “Aku Ikhlas untuk ibundaku”. Dia berjalan di bawah terik sinar mentari padang pasir hingga tiba di Ka’bah. Bahkan ketika thawaf pun, terus digendongnya ibunya penuh dengan kasih sayang. Meskipun luka, dia ikhlas karena inilah yang bisa dilakukan untuk ibundanya.
Kemudian dia bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, aku telah menggendong ibuku dari rumah sejauh 9,6 km dan aku ajak berthawaf dan berhaji. Apakah aku sudah bisa membalas jasa ibundaku? Rasulullah menjawab, “belum cukup”.