Kita mungkin pernah mengalami ketika memasuki daerah atau kota yang belum pernah dikunjungi tetapi kita merasa pernah melihat situasi dan kondisi daerah atau kota itu sebelumnya. Pengalaman ini selalu disertai dengan perasaan yang tidak nyata. Artinya pernah melihat sebelumnya tetapi dimana ? Atau kapan ? Fenomena ini disebut dengan Deja vu. Sebuah frasa perancis yang secara harfiah mempunyai arti “pernah lihat”. Maksudnya mengalami suatu pengalaman yang dirasakan pernah dialami sebelumnya. Sampai saat ini memang belum ditemukan apa gerangan penyebab deja vu.
Namun beberapa pendekatan teoritis sudah pernah dilakukan. Sigmund Freud, ahli psikoanalisis itu sempat mengamati ihwal kondisi aneh ini. Menurut Freud, deja vu terjadi ketika seseorang secara spontan teringat kembali pada sebuah fantasi yang muncul tanpa disadari. Karena hal ini tak disadari, maka kandungan fantasinya tidak bisa dicermati lebih lanjut. Ia hanya bisa teringat sepintas bahwa peristiwa yang terjadi detik itu sempat terlintas dibenaknya entah kapan (Sinar Harapan).
Ilmu memang belum bisa menjelaskan keanehan fenomena deja vu, sehingga melahirkan beberapa teori metafisis yang mencoba menjelaskan penyebab deja vu. Salah satu teorinya adalah teori yang diusung oleh Harun Yahya yang mengatakan bahwa peristiwa deja vu ini merupakan pembenaran terhadap takdir. Segala sesuatu yang akan terjadi merupakan sesuatu yang sudah ditakdirkan dan itu sudah terekam dalam rekaman otak kita. Sehingga pada saat kita menghadapi suatu peristiwa tertentu sebetulnya alam bawa sadar kita sudah mengenalnya (karena peristiwa itu sudah terekam dalam otak kita) dan pada tingkat kesadaran penuh kita merasa bahwa kita pernah mengalami sebelumnya terhadap peristiwa yang baru kita hadapi terebut. Teori ini didukung oleh Agus Mustofa dalam bukunya “Membongkar Tiga Rahasia”. Dia mengatakan bahwa semua peristiwa itu sebenarnya sudah ada dan tersimpan di dalam Kitab Induk alam semesta yang dikenal sebagai Lauh Mahfuzh.
Sejak dahulu kala sampai sekarang, takdir tetap menjadi bahan perdebatan yang tiada habisnya. Segala sesuatu yang akan terjadi misalnya, orang pada umur 30 tahun akan melakukan korupsi di suatu kantor tertentu, merupakan sesuatu kejadian yang sudah ditakdirkan. Kalau sudah ditentukan atau ditakdirkan sebelumnya, orang yang melakukan kejadian itu tidak perlu mempertanggung jawabkan kepada Tuhan. Faham ini banyak di anut oleh kaum fatalis. Tetapi kalau pengertian takdir itu dipersepsikan sebagai formula-formula atau rumusan-rumusan dan kumpulan-kumpulan formula tersebut Grand Formula, itu baru masuk akal. Tidak akan terjadi air kalau tidak ada unsur Hidrogen dan Oksigen. Inilah formula atau takdir. Orang boleh memilih formula untuk menjadi koruptor atau menjadi orang baik. Orang boleh memilih menjadi kaya atau miskin. Ingin menjadi sehat atau sakit. Orang dapat berhasil menentukan pilihannya kalau tidak ada faktor-faktor yang mempengaruhi pilihannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi itu berjumlah tak terhingga. Manusia hanya mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ini masih sangat sedikit.
"Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (ditulis) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi maha Bijaksana." [QS Luqman (31) ayat 27]
Ini menunjukkan bahwa grand formula atau ilmu Allah itu sangat luas dan ilmu manusia hanya sedikit.
Demikian juga orang boleh saja memilih ingin menjadi orang yang beriman atau kafir, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah bahwa:
"…..Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir………"[QS Al Kahfi (18) ayat 29].
Kalau orang itu memilih kafir, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya yang kafir itu, karena Allah sudah mengilhamkan kepada manusia jalan kefasikan dan ketaqwaan [QS Asy Syams (91) ayat 7-8]
Teori-teori tentang deja vu itu memang sulit untuk diuji kebenarannya. Apa yang disampaikan oleh Harun Yahya dan Agus Mustofa juga masih merupakan teori yang sulit diuji karena bagaimana caranya mengetahui rekaman peristiwa yang dimasukkan dalam otak kita? Bagaimana pula memunculkan rekaman yang sudah ada dalam otak kita tentang kejadian masa depan ? Demikian juga ada teori yang berpendapat bahwa deja vu itu merupakan peristiwa yang pernah dilihat sebelumnya pada saat kehidupan sebelum dibangkitkan kembali.
Para ahli hipnotis dapat mengetahui apa yang yang telah dilakukan seseorang di masa lampau dengan hipnotis. Inilah yang membuktikan bahwa peristiwa-peristiwa yang dialami di masa lampau sekali waktu juga muncul dalam otak kita , sehingga peristiwa yang dilihat sekarang itu ternyata sama dengan peristiwa yang dialami masa lampau, bahkan peristiwa yang jauh sebelum dilahirkan (Ian Stevenson, M.D., seorang profesor peneliti dari University of Virginia).
Kenapa fenomena ini bisa terjadi? Karena peristiwa yang dialami di masa lampau itu juga di catat dalam Kitab Induk yang disebut dengan Lauh mahfuzh dan terekam dalam sang diri.
"Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)."[QS Yaasiin (36) ayat 12]
Wa llahu ‘alam bish shawab.