Seperti kita ketahui salah satu nama Allah (Asma’ul Husna) adalah sifat Al Wahhab yang berarti Maha Pemberi. Dia memberikan rahmat dan karuniaNya kepada manusia dan seluruh makhluk tanpa pamrih atau berharap imbalan karena Dia tidak membutuhkan apapun dari makhlukNya.
Allah juga maha pemberi tanpa diminta. Air, udara, sinar matahari, hujan yang turun dan masih banyak lagi, semua disediakan untuk manusia walaupun kebanyakan manusia tidak berdo’a dan memintanya.
Seandainya seluruh manusia ingkar kepadaNya, tidak akan berkurang sedikitpun keagungan dan kebesaranNya dan sebaliknya kemuliaan dan kewibawaanNya tidak akan bertambah sedikitpun, seandainya seluruh manusia patuh dan tunduk kepadaNya.
Tidak seorangpun yang berhak menyandang Al Wahhab, sebab manusia memiliki sifat tidak sempurna, serba kekurangan sehingga tidak bisa memberi secara berkesinambungan. Sedangkan Allah adalah Maha pemberi dengan terus berkesinambungan. Maha suci Allah dari ketergantungan terhadap apapun, Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu.
Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa pada hakekatnya tidak ada pemberian tanpa tujuan dan harapan, kecuali Allah SWT. Setiap manusia pasti mengharapkan sesuatu atas semua perbuatannya, baik dalam bentuk pujian, meraih kehormatan, persahabatan atau sekedar menghindari celaan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa, seseorang yang senantiasa beribadah kepada Allah juga tak lepas dari pamrih, yaitu demi mendapatkan surga atau terhindar dari neraka. Bahkan seorang alim yang beribadah demi meraih cinta dan syukur kepada Allah, tidak sepenuhnya terhindar dari upaya atau harapan meraih imbalan.
Karena hanya sampai disitu batas kemampuan manusia, maka Allah masih memberi toleransi mereka yang beribadah untuk meraih surga atau terhindar dari neraka, selama ibadah yang dilakukannya karena Allah.
Bahkan Allah merangsang manusia untuk berbuat kebaikan dengan istilah “Perniagaan” atau ”Jual beli”. Perhatikan ayat berikut ini, “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?” (QS. 61:10).
Apakah perniagaan itu? Berikut lanjutannya, “(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya,” (QS. 61:11).
Apakah imbalan (keuntungan) yang diraih dari perniagaan itu? Yaitu, “Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar,” (QS. 61:12).
Jadi sekali lagi ditegaskan bahwa manusia tidak bisa menjadi Al Wahhab, karena tidak ada sesuatupun yang dikerjakannya luput dari tujuan mendapatkan imbalan termasuk dalam hal ibadah. Namun demikian bukan berarti kita tidak dapat meneladani sifat ini sebatas kemampuan dan toleransi yang disebutkan tadi. Karena itu meneladani sifat ini dibutuhkan upaya terus menerus untuk memberi sekuat kemampuan.
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami dan anugerahilah kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkaulah al-Wahhab, Maha Pemberi. (QS. 3: 8)
Semoga Allah Yang maha kaya lagi maha sempurna pemberian-Nya mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk ikhlas dalam beramal, kemampuan untuk tidak bergantung selain kepada-Nya. Amin.
Wallahu a'lam bi showab.
Semoga bermanfaat.